Sabtu, 26 September 2009

Pemilu dan Paradoks Demokras

Pemilihan umum (pemilu) memposisikan para pesertanya dalam dilema. Di satu sisi, peserta pemilu punya harapan besar terhadap kondisi pascapemilu. Aspirasinya dalam momen itu hanya bisa disampaikan melalui contrengan pada kertas suara. Padahal situasi pascapemilu belum tentu seperti yang didambakan. Di sisi lain, seandainya keraguannya lebih besar daripada keyakinannya terhadap sasaran pilih sehingga hak pilihnya tidak digunakan, apa pun hasil pemilu nanti menjadi tanggungannya pula.
Itulah yang disebut oleh Downs (1957) dan Wolheim (1984) sebagai paradoks demokrasi. Demokrasi tidak jarang menciptakan kondisi semacam "nasib atau takdir". Mau tak mau, ia harus diterima begitu saja, meskipun dalam penerimaannya memunculkan dilema dan keserbasalahan. Paradoks demokrasi yang menimbulkan dilema pun akan muncul setelah pemilu dijalankan. Taruhlah ada satu sasaran pilih yang kita anggap dapat merepresentasikan kepentingan kita. Namun, ketika hasil pemilu menunjukkan bahwa pihak yang bertolak belakang dengan interes kita justru menang, suka tidak suka kita harus menerima resultan itu sebagai konsekuensi hidup di milieu demokrasi.
Tantangan
Mengalami proses demokrasi sedemikian rupa memang sering kali menyesakkan. Hal itu karena demokrasi bukan jalan yang mudah ditempuh, melainkan jalur terjal dan berliku. Identifikasinya cenderung pada konflik atau disharmoni ketimbang harmoni. Dinyatakan demikian lantaran demokrasi di satu sisi menempatkan individu-individu di hadapan pilihan-pilihan politik tanpa jaminan resolusi yang tuntas. Di sisi lain, demokrasi memungkinkan individu-individu tersebut saling berkonfrontasi dalam menentukan suatu persoalan (Gutmann, dalam Godin dkk.[ed], 1993 [2007]: 530).
Demokrasi memang identik dengan konsep-konsep ideal politik seperti kebebasan, persamaan, persaudaraan, keadilan, partisipasi, dan deliberasi. Namun, demokrasi, meminjam konsep "democracy to come" Derrida (1997 [2000]), di satu sisi adalah janji, di sisi lain adalah tugas. Ia janji tentang tidak akan mewujudnya demokrasi yang otentik, sehingga segala hal yang ditandai sebagai demokrasi harus selalu dipertanyakan. Tapi ia juga merupakan tugas atau perintah yang tidak bisa ditunda untuk mewujudkan sebisa mungkin janji atau impian ideal politik yang terkandung dalam penanda demokrasi.
Sebagai janji sekaligus tugas yang penuh konflik dan disharmoni, demokrasi benar-benar medan perjuangan yang penuh tantangan. Meski demikian, Indonesia (seyogianya) tetap memilih menerapkan sistem demokrasi, yang antara lain dimanifestasikan dengan pelaksanaan pemilu dewasa ini. Indonesia tidak mungkin kembali ke sistem otoritarianisme, feodalisme, apalagi kolonialisme dan imperialisme. Sebab, kondisi baru yang sedikit-banyak lebih bebas dan lebih berkesetaraan ini tidak mungkin digantikan dengan kondisi lama yang penuh kungkungan, hierarki, dan diskriminasi.
Hanya, pilihan Indonesia pada demokrasi menempatkan Indonesia pada dilematika paradoksal dan beberapa tantangan sebagaimana yang disebutkan di atas. Bagaimana menghadapi paradoks dan tantangan demokrasi? Thomson (1990) menganjurkan semua pihak dalam masyarakat saling menghormati perbedaan agar dapat hidup dalam suasana disharmoni demokrasi. Penghormatan terhadap perbedaan bisa muncul jika disadari adanya pluralitas yang di dalamnya tiap individu memiliki keunikan dan kebebasan dalam menjalani keunikannya sejauh tidak menimbulkan tindak kriminal.
Derrida (1997 [2000]), sebagaimana diutarakan di muka, mengusulkan kritik atas segala hal yang diklaim sebagai demokrasi, dan upaya untuk mewujudkan janji demokrasi sebisa mungkin, demi menindaklanjuti janji dan tugas demokrasi. Demokrasi paripurna memang tidak ada. Yang ada hanyalah jejak-jejak demokrasi. Di samping terus-menerus berupaya menginskripsikan jejak-jejak demokrasi, sangatlah penting pula upaya untuk selalu mengevaluasi jejak-jejak demokrasi yang sudah dibuat, sehingga falibilisme demokrasi selalu dapat diperbaiki.
Terkait dengan paradoks demokrasi yang muncul pada saat dan setelah pemilu, Indonesia seyogianya beranjak dari demokrasi Scumpetarian menuju demokrasi partisipatoris-deliberatif. Yang dimaksud sebagai demokrasi Scumpetarian adalah demokrasi yang didefinisikan Joseph Schumpeter sebagai "tatanan institusional untuk mencapai keputusan-keputusan politik di mana individu-individu dapat memperoleh kekuasaan untuk menentukan keputusan itu melalui kompetisi memperebutkan suara rakyat" (Schumpeter, 1943: 269).
Demokrasi macam ini berfokus pada kompetisi politik dan hal-hal prosedural. Selaras dengan filsafat politik Machiavelli, ia mempunyai kecenderungan mendorong ke arah perebutan dan pertahanan kekuasaan dengan segala cara. Lebih parah lagi, kompetisi homo homini lupus itu dibanggakan, bahkan dijadikan sebagai ritual wajib. Ritual perebutan dan pertahanan kekuasaan sudah dijalani oleh Indonesia melalui proses-proses pemilu. Namun, jika demokrasi Indonesia difokuskan di situ saja, cepat atau lambat "demokrasi" akan dikecam dan ditinggalkan lantaran penuh "kekejaman" yang membosankan.
Agar kondisi tersebut tidak terjadi, perlu transformasi lebih lanjut terhadap demokrasi di Indonesia. Setelah mengalami demokrasi Scumpetarian, Indonesia seyogianya beranjak menuju demokrasi partisipatoris-deliberatif. Yang dimaksud sebagai demokrasi partisipatoris adalah demokrasi yang mendorong dan memberi kesempatan kepada rakyat untuk terus-menerus berpartisipasi dalam politik (Barber, 1984). Model demokrasi ini akan lebih sempurna jika digabungkan dengan model demokrasi deliberatif yang menghormati otonomi individu-individu untuk berinteraksi melalui publikasi persuasif, argumentatif, dan inklusif untuk dievaluasi (Walzer, 1983; Fishkin, 1991).
Dengan demokrasi partisipatoris-deliberatif, rakyat Indonesia didorong untuk menjadi apa yang disebut Arend sebagai "warga aktif" (active citizenship), yaitu warga yang terlibat dalam perdebatan persoalan publik (civic engagement dan collective deliberation) (d'Entreves, 1994: 2). Namun, agar keterlibatan rakyat tersebut bersifat konstruktif dan solutif, pendidikan dan pemberdayaan rakyat sekaligus akses rakyat ke informasi harus lebih ditingkatkan.
Yang terakhir itu adalah tugas negara, institusi-institusi pendidikan, organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan pers. Adapun tugas rakyat Indonesia secara umum adalah senantiasa terlibat mengawasi dan mencari solusi terbaik untuk publik. Ruang publik adalah ruang kita. Jangan sampai dikuasai hanya oleh segelintir orang saja. *

Tidak ada komentar: