Selasa, 20 Oktober 2009

sbb 1

KETIKA hujan reda di ujung malam, maka bulan pun mulai nampak di balik bayangan

mega yang kelabu. Jalan-jalan yang sunyi menjadi licin dan berlumpur. Sementara

pintu-pintu sudah tertutup rapat.

Namun dalam pada itu, dalam keheningan yang semakin mencengkam, seseorang duduk

di atas sebuah amben bambu sambil mengusap hulu pedangnya. Sebuah mangkuk berisi

air panas masih terletak di hadapannya.

Sesekali orang itu meneguk minuman panas itu. Namun kemudian pelahan-lahan ia

bangkit sambil bergumam, “Waktunya telah tiba.”

Orang itu berdiri tegak sambil memandangi ruangan itu dari sudut sampai ke

sudut. Setiap benda yang ada di ruang itu diperhatikan dengan seksama. Namun

kemudian ia pun telah menarik nafas dalam-dalam. Sambil melangkah ke pintu,

orang itu memanggil, “Wiradana....”

Seorang anak muda yang mendengar panggilan itu pun bangkit dari pembaringannya.

Udara yang dingin telah mendorongnya untuk berbaring sambil merenungi dirinya

sendiri.

Ketika Wiradana memasuki ruang tengah, dilihatnya ayahnya berdiri dengan pedang

di lambung.

“Ayah...” desis anak muda itu.

“Ayah akan pergi. Aku tidak tahu apakah aku akan kembali atau tidak. Tetapi kau

sudah cukup dewasa. Kau tahu apa yang harus kau lakukan,” desis orang berpedang

itu.

“Ayah akan kemana?” tanya Wiradana.

“Baiklah. Aku akan berkata terus terang. Justru karena aku mengharap bahwa kau

akan dapat menanggapi keadaan dengan sebaik-baiknya.” Ayahnya terdiam sejenak,

lalu, “Wiradana, Tanah Perdikan ini mulai berkembang. Kau harus dapat berbuat

sebagaimana ayah berbuat selama ini atas Tanah Perdikan ini. Seandainya ayah

tidak kembali, maka aku yakin bahwa Tanah Perdikan ini tidak akan menjadi

kuncup. Tetapi akan mekar dan menjadi sejahtera.”

“Apa sebenarnya yang akan ayah lakukan?” tanya Wiradana.

“Hari ini adalah hari yang sudah aku janjikan untuk bertemu dengan Gonggang

Wirit,” jawab ayahnya.

“Siapakah Gonggang Wirit itu, ayah?” tanya Wiradana.

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak banyak orang yang mengenal

namanya. Bahkan aku kira orang itu telah mati pula. Namun tiba-tiba ia datang ke

Tanah perdikan Sembojan ini.”

“Apa hubungannya dengan ayah dan untuk apa ia datang kemari?” desak Wiradana.

“Persoalan itu sebenarnya telah terjadi sejak kau belum dilahirkan.” Wajah orang

tua itu menjadi keruh. “Persoalannya berkisar pada persoalan ibumu. Aku telah

bertengkar dengan seseorang sehingga aku tidak dapat berbuat lain daripada

membunuhnya. Laki-laki yang mati itu adalah adik orang yang bernama Gonggang

Wirit. Untunglah bahwa ibumu sekarang sudah tidak ada lagi, sehingga ia tidak

melihat, bahwa pertentangan yang terjadi lebih dari duapuluh tahun yang lalu itu

masih saja berkelanjutan.”

“Apakah Gonggang Wirit datang memang untuk mempersoalkan peristiwa yang terjadi

lebih dari duapuluh tahun yang lalu itu?” tanya Wiradana.

“Agaknya tidak, Wiradana,” jawab ayahnya. “Ternyata sekarang Gonggang Wirit

telah menjadi seorang gegedhug yang membuat negeri ini menjadi keruh. Mungkin

Tanah perdikan ini dianggapnya terlalu jauh dari pusat pemerintahan di Demak,

sehingga Gonggang Wirit telah memilih daerah yang sedang tumbuh ini menjadi

sasarannya.”

“Ayah, apakah Gonggang Wirit mempunyai hubungan dengan gerombolan Kalamerta yang

membuat rusuh di Tanah perdikan Sembojan ini?” tanya Wiradana.

“Ternyata Kalamerta itu adalah Gonggang Wirit,” jawab ayahnya. “Ia memang

menggantikan namanya dan melakukan pekerjaan yang nista dengan kemampuannya yang

tinggi dalam olah kanuragan. Agaknya Tanah Perdikan ini akan banyak mengalami

kesulitan jika kita harus berhadapan langsung dengan gerombolan itu.”

“Tetapi kenapa ayah akan menemuinya sekarang? Sebab menurut tanggapanku, ayah

akan menemuinya dalam perang tanding,” sahut Wiradana dengan cemas.

“Ya. Aku memang mengharap dapat bertemu dengan Gonggang Wirit dalam perang

tanding. Aku tidak mempunyai cara lain untuk menyelamatkan Tanah Perdikan ini.

Jika aku berhasil memancingnya, maka aku kira para pengikutnya akan kehilangan

pegangan, sehingga para pengawal Tanah Perdikan ini akan dapat menghadapi

mereka,” jawab ayahnya.

“Ayah yakin akan dapat membunuhnya?” tanya Wiradana.

“Aku akan mencobanya. Tetapi jika aku tidak berhasil, dan aku justru terbunuh,

maka jangan kau sesali. Mungkin aku memang harus menebus tingkah lakuku lebih

dari duapuluh tahun yang lalu. Tetapi jika terjadi demikian, kau harus dengan

cepat memberikan laporan, tidak usah ke pusat pemerintahan di Demak. Kau dapat

menugaskan dua-tiga orang untuk melaporkan ke Kadipaten Pajang yang jauh lebih

dekat. Mudah-mudahan Pajang menaruh perhatian atas tingkah laku segerombolan

berandal di Tanah Perdikan Sembojan ini,” jawab ayahnya.

Wiradana termanggu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ayah, sebaiknya ayah tidak

pergi seorang diri. Apakah ayah yakin, bahwa orang itu akan menghadapi ayah

dengan jujur?”

“Aku sudah berhasil memancing persoalan. Aku berhasil mengungkat persoalan lama

sehingga aku berhasil membatasi persoalan itu antara aku dengan Gonggong Wirit,

kakak dari seorang yang pernah aku bunuh lebih dari dua puluh tahun yang lalu,”

jawab ayahnya pula.

“Jadi ayah memang sudah pernah bertemu dengan orang itu?” bertanya Wiradana

pula.

“Aku bertemu dengan seseorang yang pernah aku kenal justru dari sudut pasar, di

pande besi ketika aku ingin memesan sepuluh kejen bajak utuk padukuhan Gambir,”

jawab ayahnya pula. “Agaknya Gongong Wirit tidak lupa kepadaku sebagaimana aku

tidak lupa kepadanya meskipun kit sudah berpisah. Ternyata sorot matanya masih

tetap memancarkan dendam atas kematian adiknya meskipun itu sudah terjadi lama

sekali. Ketika orang itu tahu, bahwa aku adalah kepala Tanah Perdikan ini, maka

ia mengancam akan menghancurkan Tanah Perdikan itu. Satu-satunya jalan adalah

memancing kebenciannya kepadaku dan membatasi persoalannya sebagai persoalan

pribadi. Akhirnya, aku berhasil menjebaknya dalam satu perang tanding.”

“Bagaimana jika orang itu curang ayah?” bertanya Wiradana pula.

“Tidak. Ia sudah mengatakan, bahwa dalam persoalan pribadi ini, akan berdiri di

atas harga dirinya demi menuntut balas atas kematian adiknya itu,” jawab ayah

Wiradana.

Wiradana menarik nafas. Tetapi kecemasan tetap membayang diwajahnya. Sehingga

akhirnya ia berkata, “Ayah, aku akan ikut bersama ayah.”

Tetapi ayahnya menggeleng. Katanya, “Kau tinggal di rumah. Jika aku harus

terbunuh untuk menembus ketamakanku dua puluh tahun yang lalu, biarlah itu

terjadi. Tetapi aku akan dapat berbuat seusatu atas Tanah Perdikan ini. Tetapi

jika kau juga menjadi korban, maka akibatnya akan sangat parah bagi Semboyan.”

Wiradana menjadi semakin tegang. Namun ia tidak akan dapat mencagah ayahnya. Ia

tahu benar sifat ayahnya. Jika ia sudah mengambil satu keputusan, maka sulitlah

baginya untuk mengubahnya.

Namun Wiradana sadar, bahwa yang dilakukan ayahnya itu bukannya karena persoalan

pribadinya semata-mata. Tetapi cenderung untuk menyelamatkan Tanah Perdikannya,

meskipun mungkin ia harus mengorbankan dirinya.

Demikianlah, akhirnya Kepala Tanah Perdikan Sembojan, yang juga disebut Ki Gede

Sembojan itu kemudian meninggalkan rumahnya. Ketika ia turun tanggap pendapa,

sekali lagi ia berpaling kepada anaknya sambil berkata, “Hati-hatilah. Banyak

kemungkinan dapat terjadi.”

Wiradana mengangguk kecil. Dengan suara sendat ia berkata, "Aku akan berusaha

berbuat sebaik-baiknya ayah.". Ki Gede Sembojan tersenyum. Namun kemudian ia pun

melangkah melintasi halaman.

Di gardu, di depan regol Ki Gede Sembojan terhenti sejenak. Kepada para peronda

yang berada di gardu sambil kedinginan Ki Gede berkata, "Berhati-hatilah.

Meskipun jalan licin dan berlumpur, jangan segan untuk turun dan mengelilingi

daerah pengamatan kalian."

"Baik Ki Gede," jawab anak-anak muda yang berada di gardu itu. Namun dalam pada

itu, salah seorang dari mereka bertanya, "Ki Gede akan pergi kemana?"

"Aku akan melihat-lihat saja," jawab Ki Gede, "Mudah-mudahan gardu-gardu tidak

menjadi kosong, justru dalam keadaan yang terlalu sepi ini."

Demikianlah maka Ki Gede pun telah menyusup dan hilang di kegelapan.

Wiradana berdiri termangu-mangu. Ia tidak bertanya dimana perang tanding itu

akan diadakan. Karena ia tahu pasti bahwa ayahnya tidak akan menunjukkannya.

Dalam pada itu, Ki Gede Sembojan pun telah menyusuri jalan padukuhan induk Tanah

Perdikan Sembojan. Sekali-kali Ki Gede harus menyisih karena air yang tergenang.

Namun Ki Gede harus selalu berhati-hati karena jalan yang licin dan berlumpur.

Sejenak kemudian Ki Gede terhenti. Dihadapannya nampak lampu obor menyala di

gardu di ujung jalan. Agaknya, beberapa orang anak muda berada di gardu itu.

Meskipun tidak seramai hari-hari yang lain, pada saat jalan tidak menjadi basah

dan licin, namun ternyata bahwa gardu itu tidak menjadi kosong meskipun hujan

turun sejak sore.

Tetapi agaknya Ki Gede tidak mau disapa lagi oleh orang-orang Sembojan. Justru

karena itu, maka ia pun telah menyusup ke sebuah halaman. Kemudian Ki Gede telah

keluar dari Pedukuhan Induk itu dengan meloncati dinding disebelah pintu gerbang

sehingga tidak seorang perondapun yang mengetahuinya.

Setelah berada di bulak persawahan yang panjang, maka langkah Ki Gede pun

menjadi semakin cepat dan panjang. Ia ingin segera bertemu dengan orang yang

bernama Gonggang Wirit dan yang ternyata telah mengganti namanya dengan

Kalamerta, yang pada saat-saat terakhir telah mengganggu ketenangan hidup di

Tanah Perdikan Sembojan.

Dengan langkah pasti Ki Gede pergi ke tempat yang jarang dikunjungi oleh

seseorang. Ketika ia sampai ke sebuah sungai yang kecil, maka ia pun segera

menelusurinya. Ia telah berjanji bertemu dengan Gonggang Wirit di ujung Kali

Pideksa. Sebuah sungai kecil yang menyusuri lereng perbukitan, namun yang

kemudian saling bergabung dengan sungai-sungai kecil yang lain sehingga akhirnya

menjadi sebuah bengawan yang besar dan panjang menyusuri ngarai membelah tanah

di daerah Timur.