Sabtu, 26 September 2009

Korupsi Hati Nurani

Korupsi hati nurani ! Teringat kembali pernah menulis di tahun 90 an bagaimana cara memberantas korupsi. Tulisan itu berjudul Memberantas Korupsi dengan Hati Nurani. Benar, apa yang dilukiskan Sjamsoe'oed Sadjad tentang Korupsi Waktu, korupsi apapun bentuk dan wujudnya, tiada lain berawal dari korupsi HATI NURANI.

Saat menyimak tulisan Sjamsoe'oed Sadjad berjudul Korupsi Waktu (Kompas 16.07) patut diterima sebagai keinginan seorang warga yang ingin mengungkapkan data, apa jadinya, kalau korupsi waktu tidak ditertibkan. Penjabaran data demikian rinci, bagi yang matanya masih nyalang, telinganya masih belum tuli, dan hatinya belum mati mudah memahami kebenarannya. Insya Allah, kalau sudah diyakini bagi yang merasa bersalah terbuka hati bertobat kepada Allah SWT. Mengabaikan apa yang disebut waktu untuk mana Allah bersumpah demi masa.

Saat berkampanye SBY-JK dan Capres/Cawapres lainnya demikian tegas sampai menjanjikan para koruptor akan dihukum mati. Atas keberanian berjanji seperti itu, ucapan Alhamdulillah! Semoga jangan hanya tinggal janji lidah tidak bertulang, tetapi yang keluar dari lubuk hati yang ikhlas, mengingat masalahnya siapa yang memberantas korupsi dan siapa yang diberantas, sepanjang rasa saya sama-sama koruptor. Nauzubillah min zalik!

Masalahnya lagi-lagi diragukan, siapa sekarang yang menempatkan Allah di atas segalanya? Kalau sudah sedikit bilangannya, mari jangan biarkan semakin menurun, galakkan mengingatkan pemerintah siapapun yang menjadi Presiden/Wakil Presiden. Ingat-ingat jangan sampai pada ungkapan gaya Palembang: "La lamo nian, bosan aku mendengarnya!" Sekali lagi, mari budayakan prasangka baik setelah melakukan pilihan orang yang paling tepat jadi Presiden/Wakil Presiden dengan niat Lillahi Ta'ala, Bismillah serta akhiri Alhamdulillah. Semoga ucap demikian memberi warna segar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ridha Allah akan melimpah di negara yang lahir dan ada atas berkat rahmatNya.

Bukan pula latah-latahan, tetapi didorong oleh keinginan agar perbuatan setan korupsi penyebab nasib bangsa dan negara tergadai tidak mempunyai harga diri, segera berakhir. Jadi bukan sekedar ajak tetapi sekaligus mengingatkan bagaimana cara memberantas korupsi. Bukan hanya mengenai kekayaan negara, juga waktu.

Hemat saya, masih ada jenis korupsi yang lebih parah dari yang dua itu, korupsi hati nurani. Alhamdulillah, para elit politik saat berkampanye selalu menjadikan hati nurani sebagai sentuhan pemilih baik saat calon legislatif tanggal 05 April 2004, demikian pula capres/cawapres putaran pertama tanggal 05 Juli 2004 berlanjut dengan putaran kedua tanggal 20 September 2004. Semua mengajak memilih sesuai hati nurani. Ajakan sungguh mulia di mata manusia juga Ilahi Rabbi.

Hati nurani dijadikan topik jaminan menentukan, siapa pilihan! Hanya sering hati ragu sekaligus bertanya, mengingat ada di antara capres/cawapres masih aktif berperan sebagai pejabat, ingin bertanya adakah juga hati nurani menjiwai dirinya mengemban amanah/jabatan? Jujur-jujurkah ucapan itu keluar dari lubuk hati nuraninya? Atau hanya sekedar: berlomba menarik perhatian? Wallahu'alam bissawab!


Korupsi hati nurani ! Teringat kembali pernah menulis di tahun 90 an bagaimana cara memberantas korupsi. Tulisan itu berjudul Memberantas Korupsi dengan Hati Nurani. Benar, apa yang dilukiskan Sjamsoe'oed Sadjad tentang Korupsi Waktu, korupsi apapun bentuk dan wujudnya, tiada lain berawal dari korupsi HATI NURANI. Sekira dalam diri masing-masing masih ada tersimpan hati nurani, ia akan mampu memilih dan memilah antar yang hak dan yang batil. Budaya setan dikenal dalam masyarakat batak, asal bersisik dekke (ikan) lah dia itu, sehingga ular yang bersisik pun dikira ikan, ditelannya celakalah dia.

Hemat saya perlu dicatat saat mencari rezeki berhati-hatilah. Kalau tidak halal, alias haram, jangan! Sedang yang halal sekalipun masih ada prasyarat harus halal dan thayib (baik), baru berkah Allah menyertai. Bukankah yang berkah itu diharapkan? Aneka contoh patut dijadikan peringatan. Banyak harta belum tentu membawa kebahagiaan, justru petaka baik lahir konon ditambah yang bathin. Sungguh celakalah nasibnya konon di hari tua

Tentang hati berhati nurani ini terkenang seorang tokoh nasional Siswono Yudohusodo Cawapres pasangan Amien Rais, sekira 14 tahun yang lalu, ketika beliau Menteri Urusan Perumahan Rakyat (Menpera) pemah berpesan:

"Sebenarnya kita berada dalam konflik batin yang berat menyaksikan ketidak seimbangan antara keinginan dan kenyataan yang ada. Saya tidak membantah rumah T-20 itu kurang layak, tapi daya jangkauan masyarakat hanya sampai di situ".

"Ada beberapa anggota masyarakat yang memiliki rumah berhalaman satu hektar, dengan harga sekitar Rp 10 miliaran di Jakarta. Padahal dengan harga yang sama, bisa dibangun 15.000 unit rumah tipe 29."

Masih ada catatan beliau tentang kemampuan undang-undang memberantas perbuatan tercela seperti diuraikan tentang pembangunan rumah mewah, yakni:
"Memang belum ada undang-undang yang membatasi kepemilikan rumah dan tanah. Tapi apakah pantas dalam suasana yang begini, memiliki rumah seharga Rp 10 miliaran? Saya kira tindakan setiap orang tidak mungkin diatur semata-mata oleh peraturan atau undang-undang. Ada hati nurani yang sebenarnya lebih merupakan batas ampuh untuk menahan, atau mengumbar keinginan" (Bismar Siregar : Catatan Bijak Membela Kebenaran Menegakkan Keadi1an hal 27-28).

Maukah kita dengan jujur mengakui kenyataan, betapa korupsi hati nurani ini melanda sebagian besar pejabat (penguasa) demikian juga pengusaha sampai saat ini? Sebutlah sebagai contoh, langsung saja disebut BUMN Pertamina, harus melepas penjualan dua tanker dengan berbagai alasan antara lain untuk membayar hutang. Sudah sampai dipermasalahkan di DPR, masih laju tidak berpikir ulang tepat atau tidakkah penjualan tanker tesebut? Pendeknya mauku jadi ! Yang lebih menyakitkan hati, walau sudah ada, yang bersimpul Pertamina di ambang kebangkrutan, ada pula kisah menaikkan gaji Direksi, Dirutnya diimbali semula Rp 75 juta menjadi Rp 150 juta. Lamak nian jadi pejabat Pertamina. Sarokah dia?

Dan yang sangat membuat hati istighfar, ada jabatan Komisaris biasanya dijabat kecuali pejabat yang masih aktif juga sering diberikan kepada yang asykar-asykar tak berguna. Bagi-bagi kesempatan sekaligus bagi-bagi rezeki, apa salahnya kalau peraturan atau undang-undang tidak melarangnya. Yang bersangkutan enteng berkata, memang ditetapkan dan halal mengapa saya tolak rezeki demikian?

Hanya kepada Allah mampu mengadu, mengapa di negara yang 1ahir dan ada atas berkat dan rahmatNya ada segelintir manusia berakhlak seperti itu? JawabanNya sederhana:
"Dan untuk neraka jahannam, kami ciptakan kebanyakan jin dan manusia Mereka mempunyai hati, Yang tiada dipergunakannya untuk mengerti Mereka mempunyai mata yang tiada dipergunakannya untuk melihat;

Dan mereka mempunyai telinga, Yang tiada dipergunakannya untuk mendengar
Mereka seperti binatang, Tidak , mereka lebih sesat lagi,
Merekalah orang yang lalai " ( Q.S.AI A'raf 179 )

Tidak ingin berkomentar lebih dalam, cukuplah kiranya bersimpul : "Tega amat engkau pengemban amanah setiap mengawali jabatanmu engkau bersumpah bersaksikan Allah, namun mudah sekali mengorbankan serta berbohong terhadap hati nuranimu. Engkau tidak merasakan yang dialami oleh masyarakat lapisan terbawah petani, nelayan, perajin yang kini hidupnya bukan sekedar senin-kemis, sudah lebih parah lagi dicari pagi belum tentu ada yang dibawa sore mengisi perut sejengkal anak dan isteri.

Golongan ini tidak mempunyai hari depan yang panjang, singkat saja perhitungan hidupnya, hanya sampai hari ini. Kalau itupun tidak berkesampaian masih percayakah kalau ia tidak melakukan perbuatan halal atau bukan tidak menjadi persoalan, apapun akan dilakukan?

Saat merenung bagaimana memecahkan masalah korupsi seakan dilingkari setan, istilah bagi orang yang beriman tidak boleh dijadikan alasan tidak mampu menyelesaikan keadaan, ingin mengajak merujuk pada sumber hukum dan moral bangsa yakni Pancasila. Jangan serta merta menolak rujukan Pancasila, karena inilah wadah pemersatu bagi bangsa terdiri dari aneka etnis, beragam agama dan kepercayaan. Dan dari rujukan itulah ditemukan penyebab penyakit hati nurani yakni :
a. "Kemiskinan mendekatkan orang kepada kekufuran."
b. "Tidak termasuk umatku yang tidur lelap dalam kekenyangan ~ngkan tetangganya kelaparan."
c. Cintailah sesamamu, seperti mencintai drimu"
Sungguh banyak nilai-nilai yang patut digali, dalam rangka menghindarkan sesama terutama golongan penguasa dan pengusaha berkolusi / berkoalisi melakukan korupsi, korupsi hati nurani. Sepakat atau belum? Kalau belum marilah merenunginya lebih lagi bila dilakukan di tengah malam saat usai shalat tahajut. Atau tidak berniat, dan berminat?

Sekali lagi tergolong yang patut dilibas karena sudah lebih sesat dari binatang. Tunggulah saatnya, kalau nanti pemerintahan benar Lillahi Ta'ala memberantas perbuatan durjana setan korupsi, tidak bisa lari bersembunyi di mana dan ke mana. Ada Allah yang akan membatasnya Mau? Mari! Bismillah!

Saat merenung kembali setelah setahun lebih usia Kabinet Indonesia Bersatu koalisi partai SBY-YK sampai terjadi tuntutan disebut Resuffle Kabinet yang nyatanya bukan seperti diharapkan. Benar telah terjadi pergantian di antara pembantu Presiden sebutlah Alwi Shihab, Yusuf Hasyim cs. Serta ada pergeseran di antara menteri dari itu ke ini. Dan budayakah atau bukan jelas, kalau ada yang diganti tidak pula lupa menitipkan pesan, tidak perlu kecewa akan diberi kedudukan sebagai utusan khusus atau menjadi duta besarkah di negara sahabat. Singkat kalimat, tidak jadi pengangguran! Tidak heran ada di antaranya berkata, bangga hati sebagai promosi amanah! Terserahlah sesuai bisikan hati .. nurani .

Bagi diri sebagai pengamat yang tidak berarti saat mengharapkan pergantian pembantu Presiden penuh harapan akan lebih jelas arah tujuan Kabinet dalam rangka pemberantasan KKN seperti pernah dijanjikan kini dianggap sebagai berjalan di tempat. Benar tunggu-bertunggu dan bukan sekali tunda ditunda sampai timbul macam-macam issu yang bukan-bukan memang itulah jadinya kalau sebutannya menunggu. Setan datang menggurui.

Teringat saat pembentukan kabinet pernah membuat catatan bagi Jaksa Agung yang belum pernah berpengalaman di bidang penegakan hukum, kecuali sebentar sebagai Hakim Agung dan membuat catatan sejarah dengan dissenting of opinion dalam perkara Akbar Tanjung. Mugkinkah itu yang dijadikan tolak ukur tiket menjabat Jaksa Agung ? Wallahu 'alam bissawab.

Tetapi yang jelas sampai sekarang ini Kejaksaan Agung seakan kehilangan pamor yang mampu berbuat banyak terhadap pemberantasan korupsi. Adakah karena ada KPK yang lebih menonjol seperti terjadinya pengungkapan korupsi di KPU demikian peristiwa tidak terpuji di Mahkamah Agung?

Lagi-Iagi diingatkan betapa harapan rakyat yang sudah lama menunggu pemberantasan benalu korupsi jangan disia-siakan. Teringat betapa Jaksa Agung mudah tersinggung saat hadir di tengah sidang DPR menyampaikan laporan tentang tugas pemberantasa Korupsi ada yang nyeletuk ia sebagai seorang ustadz berada di sarang maling serta merta terjadi luapan emosi protes atas ucapan yang sangat tidak seronoh itu. Keterkejutan terjadi dan hati ini bertanya mengapa harus "emosi " menanggapi ungkapan seperti itu?

Bagi saya yang demikian membuktikan belum matangnya jiwa beliau sebagai seorang pemimpin. Semestinya dijawab senyum serta berucap terima kasih. Selesailah masalah.
Pertanyaan ialah, masihkah ada koruptor-koruptor di lingkungan Kejaksaan Agung? Kalau benar tidak ada, Alhamdulillah ! Hemat saya masih banyak.Oleh sebab itu disampaikan pesan harapan pernah dibuat sekedar mengingatkan.

Tentang korupsi hati nurani sebutlah di DPR. Masihkah layak menaruh kepercayaan mereka mewakili rakyat, kalau mereka sendiri sudah berani menuntut kenaikan gaji / tunjangan / penghasilan sampai puluhan juta sedangkan rakyat diwakili mencari makan sehari-hari sulit sehingga harus ada subsidi / kompensasi hidup Rp. 300.000 pertriwulan ? Juga masihkah dipercaya, bila mereka memagari diri dengan tembok berbiaya milyaran rupiah?

Saya yakin kita percaya mereka lupa sekali lupa asal muasalnya dari desa anak petani. Walau protes tentang impor beras nyatanya beras jadi juga diimpor dissertai catatan Presiden sekedar menyanggah stok pengadaan beras sepanjang tahun dan hanya sekali ini dilakukan Pertanyaan termasuk korupsi kah yang demikian? Hemat saya itulah korupsi, yang. paling berbahaya. la akan merosot lebih jahat dari binatang. Nauzubillah. Mari istighfar.

Demikian catatan tambahan tentang korupsi setelah memasuki tahun kedua Kabinet Persatuan Indonesia berjalan. Masihkah ada harapan? Jangan berputus harapan kewajiban hanya menyampaikan serta mengingatkan, kalau sudah jangan paksakan. Masih ada yang SATU jangan abaikan yang SATU itu, Allah SWT. Serahkan sepenuh serah kepadaNya. Masih diujiNyakah kita dengan ujian aneka rupa kembalikanlah kepadaNya. Adajanji yang tidak pernah la ingkari :

"Dan berapa banyak kota-kota yang penduduknya Kuberi waktu,
Sekalipun mereka melakukan kejahatan !
Kemudian Aku menghukum mereka
KepadaKulah semuanya kembali " ( Q.S.AI-Hajj 22 : 48 )
Mari dicamkan, sekaligus bertobat kepadaNya telah memperdayakan sesama serta alam lingkungannya. la Maha Pengasih lagi Maha Penyayang berdasarkan kasih-sayang itulah la setiap saat dan ketika membuka pintu tobat kepada hambaNya. Sayang si hamba sering tak tahu diri.

Pemilu dan Paradoks Demokras

Pemilihan umum (pemilu) memposisikan para pesertanya dalam dilema. Di satu sisi, peserta pemilu punya harapan besar terhadap kondisi pascapemilu. Aspirasinya dalam momen itu hanya bisa disampaikan melalui contrengan pada kertas suara. Padahal situasi pascapemilu belum tentu seperti yang didambakan. Di sisi lain, seandainya keraguannya lebih besar daripada keyakinannya terhadap sasaran pilih sehingga hak pilihnya tidak digunakan, apa pun hasil pemilu nanti menjadi tanggungannya pula.
Itulah yang disebut oleh Downs (1957) dan Wolheim (1984) sebagai paradoks demokrasi. Demokrasi tidak jarang menciptakan kondisi semacam "nasib atau takdir". Mau tak mau, ia harus diterima begitu saja, meskipun dalam penerimaannya memunculkan dilema dan keserbasalahan. Paradoks demokrasi yang menimbulkan dilema pun akan muncul setelah pemilu dijalankan. Taruhlah ada satu sasaran pilih yang kita anggap dapat merepresentasikan kepentingan kita. Namun, ketika hasil pemilu menunjukkan bahwa pihak yang bertolak belakang dengan interes kita justru menang, suka tidak suka kita harus menerima resultan itu sebagai konsekuensi hidup di milieu demokrasi.
Tantangan
Mengalami proses demokrasi sedemikian rupa memang sering kali menyesakkan. Hal itu karena demokrasi bukan jalan yang mudah ditempuh, melainkan jalur terjal dan berliku. Identifikasinya cenderung pada konflik atau disharmoni ketimbang harmoni. Dinyatakan demikian lantaran demokrasi di satu sisi menempatkan individu-individu di hadapan pilihan-pilihan politik tanpa jaminan resolusi yang tuntas. Di sisi lain, demokrasi memungkinkan individu-individu tersebut saling berkonfrontasi dalam menentukan suatu persoalan (Gutmann, dalam Godin dkk.[ed], 1993 [2007]: 530).
Demokrasi memang identik dengan konsep-konsep ideal politik seperti kebebasan, persamaan, persaudaraan, keadilan, partisipasi, dan deliberasi. Namun, demokrasi, meminjam konsep "democracy to come" Derrida (1997 [2000]), di satu sisi adalah janji, di sisi lain adalah tugas. Ia janji tentang tidak akan mewujudnya demokrasi yang otentik, sehingga segala hal yang ditandai sebagai demokrasi harus selalu dipertanyakan. Tapi ia juga merupakan tugas atau perintah yang tidak bisa ditunda untuk mewujudkan sebisa mungkin janji atau impian ideal politik yang terkandung dalam penanda demokrasi.
Sebagai janji sekaligus tugas yang penuh konflik dan disharmoni, demokrasi benar-benar medan perjuangan yang penuh tantangan. Meski demikian, Indonesia (seyogianya) tetap memilih menerapkan sistem demokrasi, yang antara lain dimanifestasikan dengan pelaksanaan pemilu dewasa ini. Indonesia tidak mungkin kembali ke sistem otoritarianisme, feodalisme, apalagi kolonialisme dan imperialisme. Sebab, kondisi baru yang sedikit-banyak lebih bebas dan lebih berkesetaraan ini tidak mungkin digantikan dengan kondisi lama yang penuh kungkungan, hierarki, dan diskriminasi.
Hanya, pilihan Indonesia pada demokrasi menempatkan Indonesia pada dilematika paradoksal dan beberapa tantangan sebagaimana yang disebutkan di atas. Bagaimana menghadapi paradoks dan tantangan demokrasi? Thomson (1990) menganjurkan semua pihak dalam masyarakat saling menghormati perbedaan agar dapat hidup dalam suasana disharmoni demokrasi. Penghormatan terhadap perbedaan bisa muncul jika disadari adanya pluralitas yang di dalamnya tiap individu memiliki keunikan dan kebebasan dalam menjalani keunikannya sejauh tidak menimbulkan tindak kriminal.
Derrida (1997 [2000]), sebagaimana diutarakan di muka, mengusulkan kritik atas segala hal yang diklaim sebagai demokrasi, dan upaya untuk mewujudkan janji demokrasi sebisa mungkin, demi menindaklanjuti janji dan tugas demokrasi. Demokrasi paripurna memang tidak ada. Yang ada hanyalah jejak-jejak demokrasi. Di samping terus-menerus berupaya menginskripsikan jejak-jejak demokrasi, sangatlah penting pula upaya untuk selalu mengevaluasi jejak-jejak demokrasi yang sudah dibuat, sehingga falibilisme demokrasi selalu dapat diperbaiki.
Terkait dengan paradoks demokrasi yang muncul pada saat dan setelah pemilu, Indonesia seyogianya beranjak dari demokrasi Scumpetarian menuju demokrasi partisipatoris-deliberatif. Yang dimaksud sebagai demokrasi Scumpetarian adalah demokrasi yang didefinisikan Joseph Schumpeter sebagai "tatanan institusional untuk mencapai keputusan-keputusan politik di mana individu-individu dapat memperoleh kekuasaan untuk menentukan keputusan itu melalui kompetisi memperebutkan suara rakyat" (Schumpeter, 1943: 269).
Demokrasi macam ini berfokus pada kompetisi politik dan hal-hal prosedural. Selaras dengan filsafat politik Machiavelli, ia mempunyai kecenderungan mendorong ke arah perebutan dan pertahanan kekuasaan dengan segala cara. Lebih parah lagi, kompetisi homo homini lupus itu dibanggakan, bahkan dijadikan sebagai ritual wajib. Ritual perebutan dan pertahanan kekuasaan sudah dijalani oleh Indonesia melalui proses-proses pemilu. Namun, jika demokrasi Indonesia difokuskan di situ saja, cepat atau lambat "demokrasi" akan dikecam dan ditinggalkan lantaran penuh "kekejaman" yang membosankan.
Agar kondisi tersebut tidak terjadi, perlu transformasi lebih lanjut terhadap demokrasi di Indonesia. Setelah mengalami demokrasi Scumpetarian, Indonesia seyogianya beranjak menuju demokrasi partisipatoris-deliberatif. Yang dimaksud sebagai demokrasi partisipatoris adalah demokrasi yang mendorong dan memberi kesempatan kepada rakyat untuk terus-menerus berpartisipasi dalam politik (Barber, 1984). Model demokrasi ini akan lebih sempurna jika digabungkan dengan model demokrasi deliberatif yang menghormati otonomi individu-individu untuk berinteraksi melalui publikasi persuasif, argumentatif, dan inklusif untuk dievaluasi (Walzer, 1983; Fishkin, 1991).
Dengan demokrasi partisipatoris-deliberatif, rakyat Indonesia didorong untuk menjadi apa yang disebut Arend sebagai "warga aktif" (active citizenship), yaitu warga yang terlibat dalam perdebatan persoalan publik (civic engagement dan collective deliberation) (d'Entreves, 1994: 2). Namun, agar keterlibatan rakyat tersebut bersifat konstruktif dan solutif, pendidikan dan pemberdayaan rakyat sekaligus akses rakyat ke informasi harus lebih ditingkatkan.
Yang terakhir itu adalah tugas negara, institusi-institusi pendidikan, organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan pers. Adapun tugas rakyat Indonesia secara umum adalah senantiasa terlibat mengawasi dan mencari solusi terbaik untuk publik. Ruang publik adalah ruang kita. Jangan sampai dikuasai hanya oleh segelintir orang saja. *

Partai dari Pemilu ke Pemilu

PERJALANAN sejarah partai-partai di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama jika
dibandingkan sejarah bangsa Indonesia. Partai-partai di Indonesia mulai berdiri
hampir bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia, yaitu mulai muncul sejak
dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 yang mengimbau agar
bangsa Indonesia mendirikan partai-partai dalam rangka menyongsong pemilihan
umum (baik untuk parlemen/KNIP maupun Badan Konstituante) yang direncanakan
akan segera dilaksanakan.
Sejarah mencatat bahwa rencana tersebut baru dapat terlaksana tujuh tahun
kemudian, tahun 1955, ketika bangsa Indonesia pertama kali melaksanakan
pemilihan umum anggota DPR yang menghasilkan adanya 27 partai yang
memperoleh kursi di parlemen dari 36 partai yang mengikuti pemilihann umum.
Empat partai besar secara berturut-turut memenangkan kursi: Partai Nasional
Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45
kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%) (Kevin Raymond
Evans, 2003: 14).
Sejarah partai politik Indonesia mencatat bahwa inilah satu-satunya pemilu (yang
dapat dilaksanakan dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun masa Orde Lama)
yang dapat dipergunakan untuk mengukur kekuatan partai-partai politik masa Orde
Lama. Sampai dengan berakhirnya Orde Lama pada pertengahan dekade 1960-an,
tidak ada lagi pemilihan umum yang dapat dipergunakan untuk mengukur distribusi
kekuatan antarpartai secara nasional. Hal ini perlu ditekankan karena di luar pemilu
secara nasional tersebut, terdapat beberapa kali pemilu daerah dan lokal yang
pernah dilaksanakan di Indonesia pada masa Orde Lama, yaitu pemilu 1957 (untuk
wilayah Jawa dan Sumatera Bagian Selatan), pemilu 1958 (untuk wilayah
Kalimantan), 1948 (pemilu lokal Yogyakarta), 1951 (pemilu lokal Minahasa dan
Sangihe Talaud), 1952 (pemilu lokal Makassar), 1961 (pemilu lokal Papua yang
waktu itu masih di bawah kekuasaan Belanda). Bagaimana perkembangan sistem
kepartaian di Indonesia, apakah menunjukkan kecenderungan semakin matang atau
sebaliknya, justru semakin mundur?
Tulisan berikut akan memberikan analisis perkembangan sistem kepartaian di
Indonesia dengan mengkaji tiga variabel, yaitu jumlah partai politik, distribusi
kekuatan antarpartai politik (dengan membandingkan kursi yang dimenangkan
dalam pemilu) dan integrasi sistim kepartaian (dengan menganalisis jarak ideologi
antarpartai politik).
Jumlah Partai dan Distribusi Kekuatan
Di muka telah disebutkan bahwa Pemilu 1955 (pemilu untuk memilih anggota
parlemen/KNIP dan Badan Konstituante) diikuti oleh 36 partai politik. Dari 36 partai
yang bersaing, terdapat sepuluh partai yang memperoleh suara lebih dari 1 (satu)
persen, yaitu (berturut-turut nama partai, perolehan kursi dan persen suara): Partai
Nasional Indonesia (57/22,3%), Majlis Syuro Muslimin Indonesia/Masyumi
(57/20,3%), Nahdlatul Ulama/U (45/18,4%), Partai Komunis Indonesia/PKI
(39/15,4%), Partai Syarikat Islam Indonesia/PSII (8/2,9%), Partai Kristen
Indonesia/Parkindo (8/2,6%), Partai katholik/Parkat (6/2,0%), Partai Sosialis
Indonesia/PSI (5/2,0%), Ikatan Perintis Kemerdekaan Indonesia/IPKI (4/1,4%), dan
Persatuan Tarbiyah Islamiyah/Perti (4/1,3%).
Meski sistem kepartaiannya sangat plural, distribusi kekuatan antarpartai
menunjukkan bahwa empat partai terbesar merupakan mayoritas dengan
mengumpulkan total suara 77%. Pemilihan Umum tahun 1971 yang diikuti sepuluh
partai menghasilkan distribusi kekuatan antarpartai sebagai berikut: kelompokkelompok
partai nasionalis memperoleh suara sekitar 10%, kelompok partai-partai
agama (NU, PPP, dan Parmusi) sekitar 25% dan Golongan Karya sekitar 65%.
Dominasi Golongan Karya terjadi pada keseluruhan pemilu masa Orde Baru (yaitu
Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997). Angka-angka perbandingan ini
hampir tidak mengalami perubahan berarti selama masa Orde Baru. Meski demikian
perlu digarisbawahi bahwa dominasi Golongan Karya yang luar biasa terjadi pada
Pemilu 1987 dan 1997 ketika Golongan Karya memperoleh suara sekitar 75%. Pada
Pemilu 1987, PPP mengalami penurunan suara yang drastis, sementara pada Pemilu
1997 gantian PDI yang mengalami penurunan suara sangat signifikan sebagai
buntut perpecahan internal yang menyebabkan terjadinya penyerangan kantor DPP
PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Pada masa reformasi, distribusi kekuatan antarpartai mengalami fluktuasi. Pemilu
1999 menghasilkan 6 partai yang memperoleh kursi DPR (dari 48 partai yang
bertarung dalam pemilu) dengan komposisi kursi sebagai berikut: PDI-P (153),
Partai Golkar (120), PPP (58), PKB (51), PAN (41), dan PBB (13). Pemilu 2004 yang
diikuti partai yang lebih sedikit dibanding pemilu 1999 (hanya 24 partai) justru
menghasilkan distribusi kekuatan antarpartai yang jauh lebih bervariasi. Berturutturut
jumlah kursi yang dimenangkan adalah Partai Golkar (133), PDI-P (108), PPP
(57), Partai Demokrat (57), PKB (53), PAN (49), PKS (45), PBR (13), PBB (11), PDS
(10), PKPI (3), Partai Merdeka (2), PKPB (2), PPDK (2), PPIB (1), PPDI (1). Dengan
demikian, dari 24 partai yang mengikuti Pemilu 2004, terdapat 16 partai yang
memperoleh kursi DPR; tetapi dari 16 partai yang memperoleh kursi DPR tersebut
hanya sepuluh partai yang memperoleh sepuluh kursi atau lebih, dan hanya tujuh
partai yang memperoleh kursi lebih dari lima persen.
Meski perhitungan perolehan kursi DPR belum selesai dilakukan oleh KPU, tapi dari
hasil perhitungan cepat (quick count) oleh beberapa lembaga survei menunjukkan
hasil sementara (yang biasanya tidak akan jauh beda dengan hasil sesungguhnya)
sepuluh besar partai di Indonesia kurang lebih sebagai berikut: Partai Demokrat
(20,1%), Partai Golkar (14,2%), PDI-P (14%), PKS (8,2%), PAN (6,3%), PPP (5%),
PKB (5%), Partai Hanura (4%), Gerindra (3%), PBR (1,3%). Hasil Pemilu 2004 dan
2009 menunjukkan meski perolehan suara sepuluh besar partai di Indonesia
berubah-ubah (kecuali PKS dan PAN yang relatif stabil), tetapi dari puluhan partai
yang ikut pemilu memang hanya sepuluh partai yang bisa memperoleh kursi atau
suara lebih dari 1%.
Hasil-hasil ini kurang lebih mengulang hasil Pemilu 1955. Perbandingan hasil
berbagai pemilu di Indonesia dari masa Orde lama, Orde Baru dan Reformasi
menunjukkan bahwa sebenarnya memang maksimal hanya sepuluh partai saja yang
secara konsisten dapat memperoleh dukungan masyarakat. Distribusi perolehan
suara antarpemilu juga menunjukkan bahwa distribusi kekuatan suara antarpartai
semakin merata. Jika Pemilu 1955 menghasilkan perolehan suara empat partai
terbesar adalah 77%, tahun 2004 empat partai terbesar hanya memperoleh sekitar
60%, dan tahun 2009 hanya sekitar 57%.
Jelas bahwa meski jumlah partai yang mampu memperoleh suara signifikan
konsisten pada angka sekitar 10 partai, tetapi distribusi kekuatan antarpartai
semakin merata. Hal ini tentu terkait dengan potensi integrasi sistem kepartaiannya.
Integrasi: Semakin Dekat atau Semakin Jauh?
Ukuran integrasi sistem kepartaian adalah jarak ideologis partai-partai yang
membentuk sistem kepartaian. Berbeda dengan Pemilu 1955 yang menunjukkan
adanya jarak ideolois yang esktrem (antara PKI yang di ujung kiri spektrum ideologi
dan Masyumi yang di ujung kanan), maka pemilu masa reformasi menunjukkan
jarak ideologi antarpartai yang semakin dekat.
Meski terdapat partai-partai yang dapat dikategorikan sebagai "partai kiri", yaitu
Partai Buruh dan Partai Rakyat Demokratik, tetapi kedua partai ini tidak mendapat
dukungan masyarakat. Sementara itu partai-partai agama (terutama partai-partai
Islam) mengalami degradasi suara sangat drastis, dari lebih dari 40% pada Pemilu
1955 menjadi hanya sekitar sekitar 20% pada masa reformasi. Data tentang
perolehan suara ini juga konsisten dengan dua kenyataan: tidak ada lagi partai yang
mempersoalkan Piagam Jakarta dan hampir tidak ada lagi yang menjadikan isu
agama sebagai isu utama kampanye pemilu. Isu yang pada umumnya diusung
adalah masalah moral.
Jelas bahwa partai-partai di Indonesia semakin bergerak ke tengah dalam spektrum
ideologi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa preferensi pemilih juga semakin
bergerak ke tengah. Dari sisi ideologi dan potensinya untuk memunculkan konflik
berbasis ideologi, pergerakan ideologi partai dan preterensi pemilih yang semakin ke
tengah ini semakin memperkecil potensi konflik. Meski demikian, hal ini sangat ironis
dengan perkembangan jumlah partai yang semakin banyak. Semestinya semakin
sederhana spektrum ideologi partai maka tentunya jumlah partai yang bersaing juga
semakin sedikit karena tidak ada beda antara partai satu dengan partai lainnya.
Jelas bahwa semakin banyaknya jumlah partai di Indonesia tidak memiliki landasan
teoritik ideologis yang jelas. Tidak jelas apa yang sedang diperjuangkan oleh partaipartai
yang memiliki ideologi yang sama.
Indonesia beruntung tidak memiliki partai-partai nasional yang berbasis ideologi
kesukuan dan kedaerahan (kecuali partai lokal di Aceh) sehingga tidak memiliki
ancaman konflik atas dasar perbedaan ideologi kesukuan dan kedaerahan.
India yang merupakan negara demokrasi terbesar di dunia dan Malaysia memiliki
ancaman ini karena memiliki partai-partai yang jelas dipengaruhi ideologi kesukuan
dan kedaerahan ini. Semestinya kelebihan ini ditambah dengan semakin dekatnya
jarak ideologi partai-partai dapat mendorong munculnya sistim kepartaian yang
semakin sederhana dan ramping. Hal ini bukan hanya akan membuat partai-partai
yang seideologi semakin kuat (karena menghimpun kekuatan), tetapi juga tidak
membingungkan pemilih dalam pemilu dan akan membuat pemilu semakin murah
(bayangkan jumlah biaya yang dapat dihemat untuk verifikasi partai saja dan jumlah
kertas yang dapat dihemat untuk mencetak kartu suara). Ironisnya, ketika
masyarakat Indonesia semkain terdidik (dengan semakin besarnya persentase warga
masyarakat yang dapat lulus pendidikan yang lebih tinggi), para politisi justru
terlihat "semakin bodoh" dengan membabi buta mendirikan partai meski tidak laku
di masyarakat. Apakah kita harus terus menerus menanggung harga dari perbuatan
para petualang politik ini? Marilah secara konsisten kita memberi pelajaran kepada
para politisi dengan secara terus-menerus hanya memilih partai yang jelas dasar
keberadaannya, yang bukan sekedar "bertualang". Membangun demokrasi memang
perlu waktu lama, jangan sampai kita patah arang di tengah jalan. Tidak ada jalan
mundur, sekali layar terkembang pantang surut ke belakang
Sumber : http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009042807215742