Sabtu, 26 September 2009

Partai dari Pemilu ke Pemilu

PERJALANAN sejarah partai-partai di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama jika
dibandingkan sejarah bangsa Indonesia. Partai-partai di Indonesia mulai berdiri
hampir bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia, yaitu mulai muncul sejak
dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 yang mengimbau agar
bangsa Indonesia mendirikan partai-partai dalam rangka menyongsong pemilihan
umum (baik untuk parlemen/KNIP maupun Badan Konstituante) yang direncanakan
akan segera dilaksanakan.
Sejarah mencatat bahwa rencana tersebut baru dapat terlaksana tujuh tahun
kemudian, tahun 1955, ketika bangsa Indonesia pertama kali melaksanakan
pemilihan umum anggota DPR yang menghasilkan adanya 27 partai yang
memperoleh kursi di parlemen dari 36 partai yang mengikuti pemilihann umum.
Empat partai besar secara berturut-turut memenangkan kursi: Partai Nasional
Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45
kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%) (Kevin Raymond
Evans, 2003: 14).
Sejarah partai politik Indonesia mencatat bahwa inilah satu-satunya pemilu (yang
dapat dilaksanakan dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun masa Orde Lama)
yang dapat dipergunakan untuk mengukur kekuatan partai-partai politik masa Orde
Lama. Sampai dengan berakhirnya Orde Lama pada pertengahan dekade 1960-an,
tidak ada lagi pemilihan umum yang dapat dipergunakan untuk mengukur distribusi
kekuatan antarpartai secara nasional. Hal ini perlu ditekankan karena di luar pemilu
secara nasional tersebut, terdapat beberapa kali pemilu daerah dan lokal yang
pernah dilaksanakan di Indonesia pada masa Orde Lama, yaitu pemilu 1957 (untuk
wilayah Jawa dan Sumatera Bagian Selatan), pemilu 1958 (untuk wilayah
Kalimantan), 1948 (pemilu lokal Yogyakarta), 1951 (pemilu lokal Minahasa dan
Sangihe Talaud), 1952 (pemilu lokal Makassar), 1961 (pemilu lokal Papua yang
waktu itu masih di bawah kekuasaan Belanda). Bagaimana perkembangan sistem
kepartaian di Indonesia, apakah menunjukkan kecenderungan semakin matang atau
sebaliknya, justru semakin mundur?
Tulisan berikut akan memberikan analisis perkembangan sistem kepartaian di
Indonesia dengan mengkaji tiga variabel, yaitu jumlah partai politik, distribusi
kekuatan antarpartai politik (dengan membandingkan kursi yang dimenangkan
dalam pemilu) dan integrasi sistim kepartaian (dengan menganalisis jarak ideologi
antarpartai politik).
Jumlah Partai dan Distribusi Kekuatan
Di muka telah disebutkan bahwa Pemilu 1955 (pemilu untuk memilih anggota
parlemen/KNIP dan Badan Konstituante) diikuti oleh 36 partai politik. Dari 36 partai
yang bersaing, terdapat sepuluh partai yang memperoleh suara lebih dari 1 (satu)
persen, yaitu (berturut-turut nama partai, perolehan kursi dan persen suara): Partai
Nasional Indonesia (57/22,3%), Majlis Syuro Muslimin Indonesia/Masyumi
(57/20,3%), Nahdlatul Ulama/U (45/18,4%), Partai Komunis Indonesia/PKI
(39/15,4%), Partai Syarikat Islam Indonesia/PSII (8/2,9%), Partai Kristen
Indonesia/Parkindo (8/2,6%), Partai katholik/Parkat (6/2,0%), Partai Sosialis
Indonesia/PSI (5/2,0%), Ikatan Perintis Kemerdekaan Indonesia/IPKI (4/1,4%), dan
Persatuan Tarbiyah Islamiyah/Perti (4/1,3%).
Meski sistem kepartaiannya sangat plural, distribusi kekuatan antarpartai
menunjukkan bahwa empat partai terbesar merupakan mayoritas dengan
mengumpulkan total suara 77%. Pemilihan Umum tahun 1971 yang diikuti sepuluh
partai menghasilkan distribusi kekuatan antarpartai sebagai berikut: kelompokkelompok
partai nasionalis memperoleh suara sekitar 10%, kelompok partai-partai
agama (NU, PPP, dan Parmusi) sekitar 25% dan Golongan Karya sekitar 65%.
Dominasi Golongan Karya terjadi pada keseluruhan pemilu masa Orde Baru (yaitu
Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997). Angka-angka perbandingan ini
hampir tidak mengalami perubahan berarti selama masa Orde Baru. Meski demikian
perlu digarisbawahi bahwa dominasi Golongan Karya yang luar biasa terjadi pada
Pemilu 1987 dan 1997 ketika Golongan Karya memperoleh suara sekitar 75%. Pada
Pemilu 1987, PPP mengalami penurunan suara yang drastis, sementara pada Pemilu
1997 gantian PDI yang mengalami penurunan suara sangat signifikan sebagai
buntut perpecahan internal yang menyebabkan terjadinya penyerangan kantor DPP
PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Pada masa reformasi, distribusi kekuatan antarpartai mengalami fluktuasi. Pemilu
1999 menghasilkan 6 partai yang memperoleh kursi DPR (dari 48 partai yang
bertarung dalam pemilu) dengan komposisi kursi sebagai berikut: PDI-P (153),
Partai Golkar (120), PPP (58), PKB (51), PAN (41), dan PBB (13). Pemilu 2004 yang
diikuti partai yang lebih sedikit dibanding pemilu 1999 (hanya 24 partai) justru
menghasilkan distribusi kekuatan antarpartai yang jauh lebih bervariasi. Berturutturut
jumlah kursi yang dimenangkan adalah Partai Golkar (133), PDI-P (108), PPP
(57), Partai Demokrat (57), PKB (53), PAN (49), PKS (45), PBR (13), PBB (11), PDS
(10), PKPI (3), Partai Merdeka (2), PKPB (2), PPDK (2), PPIB (1), PPDI (1). Dengan
demikian, dari 24 partai yang mengikuti Pemilu 2004, terdapat 16 partai yang
memperoleh kursi DPR; tetapi dari 16 partai yang memperoleh kursi DPR tersebut
hanya sepuluh partai yang memperoleh sepuluh kursi atau lebih, dan hanya tujuh
partai yang memperoleh kursi lebih dari lima persen.
Meski perhitungan perolehan kursi DPR belum selesai dilakukan oleh KPU, tapi dari
hasil perhitungan cepat (quick count) oleh beberapa lembaga survei menunjukkan
hasil sementara (yang biasanya tidak akan jauh beda dengan hasil sesungguhnya)
sepuluh besar partai di Indonesia kurang lebih sebagai berikut: Partai Demokrat
(20,1%), Partai Golkar (14,2%), PDI-P (14%), PKS (8,2%), PAN (6,3%), PPP (5%),
PKB (5%), Partai Hanura (4%), Gerindra (3%), PBR (1,3%). Hasil Pemilu 2004 dan
2009 menunjukkan meski perolehan suara sepuluh besar partai di Indonesia
berubah-ubah (kecuali PKS dan PAN yang relatif stabil), tetapi dari puluhan partai
yang ikut pemilu memang hanya sepuluh partai yang bisa memperoleh kursi atau
suara lebih dari 1%.
Hasil-hasil ini kurang lebih mengulang hasil Pemilu 1955. Perbandingan hasil
berbagai pemilu di Indonesia dari masa Orde lama, Orde Baru dan Reformasi
menunjukkan bahwa sebenarnya memang maksimal hanya sepuluh partai saja yang
secara konsisten dapat memperoleh dukungan masyarakat. Distribusi perolehan
suara antarpemilu juga menunjukkan bahwa distribusi kekuatan suara antarpartai
semakin merata. Jika Pemilu 1955 menghasilkan perolehan suara empat partai
terbesar adalah 77%, tahun 2004 empat partai terbesar hanya memperoleh sekitar
60%, dan tahun 2009 hanya sekitar 57%.
Jelas bahwa meski jumlah partai yang mampu memperoleh suara signifikan
konsisten pada angka sekitar 10 partai, tetapi distribusi kekuatan antarpartai
semakin merata. Hal ini tentu terkait dengan potensi integrasi sistem kepartaiannya.
Integrasi: Semakin Dekat atau Semakin Jauh?
Ukuran integrasi sistem kepartaian adalah jarak ideologis partai-partai yang
membentuk sistem kepartaian. Berbeda dengan Pemilu 1955 yang menunjukkan
adanya jarak ideolois yang esktrem (antara PKI yang di ujung kiri spektrum ideologi
dan Masyumi yang di ujung kanan), maka pemilu masa reformasi menunjukkan
jarak ideologi antarpartai yang semakin dekat.
Meski terdapat partai-partai yang dapat dikategorikan sebagai "partai kiri", yaitu
Partai Buruh dan Partai Rakyat Demokratik, tetapi kedua partai ini tidak mendapat
dukungan masyarakat. Sementara itu partai-partai agama (terutama partai-partai
Islam) mengalami degradasi suara sangat drastis, dari lebih dari 40% pada Pemilu
1955 menjadi hanya sekitar sekitar 20% pada masa reformasi. Data tentang
perolehan suara ini juga konsisten dengan dua kenyataan: tidak ada lagi partai yang
mempersoalkan Piagam Jakarta dan hampir tidak ada lagi yang menjadikan isu
agama sebagai isu utama kampanye pemilu. Isu yang pada umumnya diusung
adalah masalah moral.
Jelas bahwa partai-partai di Indonesia semakin bergerak ke tengah dalam spektrum
ideologi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa preferensi pemilih juga semakin
bergerak ke tengah. Dari sisi ideologi dan potensinya untuk memunculkan konflik
berbasis ideologi, pergerakan ideologi partai dan preterensi pemilih yang semakin ke
tengah ini semakin memperkecil potensi konflik. Meski demikian, hal ini sangat ironis
dengan perkembangan jumlah partai yang semakin banyak. Semestinya semakin
sederhana spektrum ideologi partai maka tentunya jumlah partai yang bersaing juga
semakin sedikit karena tidak ada beda antara partai satu dengan partai lainnya.
Jelas bahwa semakin banyaknya jumlah partai di Indonesia tidak memiliki landasan
teoritik ideologis yang jelas. Tidak jelas apa yang sedang diperjuangkan oleh partaipartai
yang memiliki ideologi yang sama.
Indonesia beruntung tidak memiliki partai-partai nasional yang berbasis ideologi
kesukuan dan kedaerahan (kecuali partai lokal di Aceh) sehingga tidak memiliki
ancaman konflik atas dasar perbedaan ideologi kesukuan dan kedaerahan.
India yang merupakan negara demokrasi terbesar di dunia dan Malaysia memiliki
ancaman ini karena memiliki partai-partai yang jelas dipengaruhi ideologi kesukuan
dan kedaerahan ini. Semestinya kelebihan ini ditambah dengan semakin dekatnya
jarak ideologi partai-partai dapat mendorong munculnya sistim kepartaian yang
semakin sederhana dan ramping. Hal ini bukan hanya akan membuat partai-partai
yang seideologi semakin kuat (karena menghimpun kekuatan), tetapi juga tidak
membingungkan pemilih dalam pemilu dan akan membuat pemilu semakin murah
(bayangkan jumlah biaya yang dapat dihemat untuk verifikasi partai saja dan jumlah
kertas yang dapat dihemat untuk mencetak kartu suara). Ironisnya, ketika
masyarakat Indonesia semkain terdidik (dengan semakin besarnya persentase warga
masyarakat yang dapat lulus pendidikan yang lebih tinggi), para politisi justru
terlihat "semakin bodoh" dengan membabi buta mendirikan partai meski tidak laku
di masyarakat. Apakah kita harus terus menerus menanggung harga dari perbuatan
para petualang politik ini? Marilah secara konsisten kita memberi pelajaran kepada
para politisi dengan secara terus-menerus hanya memilih partai yang jelas dasar
keberadaannya, yang bukan sekedar "bertualang". Membangun demokrasi memang
perlu waktu lama, jangan sampai kita patah arang di tengah jalan. Tidak ada jalan
mundur, sekali layar terkembang pantang surut ke belakang
Sumber : http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009042807215742

Tidak ada komentar: