KETIKA hujan reda di ujung malam, maka bulan pun mulai nampak di balik bayangan
mega yang kelabu. Jalan-jalan yang sunyi menjadi licin dan berlumpur. Sementara
pintu-pintu sudah tertutup rapat.
Namun dalam pada itu, dalam keheningan yang semakin mencengkam, seseorang duduk
di atas sebuah amben bambu sambil mengusap hulu pedangnya. Sebuah mangkuk berisi
air panas masih terletak di hadapannya.
Sesekali orang itu meneguk minuman panas itu. Namun kemudian pelahan-lahan ia
bangkit sambil bergumam, “Waktunya telah tiba.”
Orang itu berdiri tegak sambil memandangi ruangan itu dari sudut sampai ke
sudut. Setiap benda yang ada di ruang itu diperhatikan dengan seksama. Namun
kemudian ia pun telah menarik nafas dalam-dalam. Sambil melangkah ke pintu,
orang itu memanggil, “Wiradana....”
Seorang anak muda yang mendengar panggilan itu pun bangkit dari pembaringannya.
Udara yang dingin telah mendorongnya untuk berbaring sambil merenungi dirinya
sendiri.
Ketika Wiradana memasuki ruang tengah, dilihatnya ayahnya berdiri dengan pedang
di lambung.
“Ayah...” desis anak muda itu.
“Ayah akan pergi. Aku tidak tahu apakah aku akan kembali atau tidak. Tetapi kau
sudah cukup dewasa. Kau tahu apa yang harus kau lakukan,” desis orang berpedang
itu.
“Ayah akan kemana?” tanya Wiradana.
“Baiklah. Aku akan berkata terus terang. Justru karena aku mengharap bahwa kau
akan dapat menanggapi keadaan dengan sebaik-baiknya.” Ayahnya terdiam sejenak,
lalu, “Wiradana, Tanah Perdikan ini mulai berkembang. Kau harus dapat berbuat
sebagaimana ayah berbuat selama ini atas Tanah Perdikan ini. Seandainya ayah
tidak kembali, maka aku yakin bahwa Tanah Perdikan ini tidak akan menjadi
kuncup. Tetapi akan mekar dan menjadi sejahtera.”
“Apa sebenarnya yang akan ayah lakukan?” tanya Wiradana.
“Hari ini adalah hari yang sudah aku janjikan untuk bertemu dengan Gonggang
Wirit,” jawab ayahnya.
“Siapakah Gonggang Wirit itu, ayah?” tanya Wiradana.
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak banyak orang yang mengenal
namanya. Bahkan aku kira orang itu telah mati pula. Namun tiba-tiba ia datang ke
Tanah perdikan Sembojan ini.”
“Apa hubungannya dengan ayah dan untuk apa ia datang kemari?” desak Wiradana.
“Persoalan itu sebenarnya telah terjadi sejak kau belum dilahirkan.” Wajah orang
tua itu menjadi keruh. “Persoalannya berkisar pada persoalan ibumu. Aku telah
bertengkar dengan seseorang sehingga aku tidak dapat berbuat lain daripada
membunuhnya. Laki-laki yang mati itu adalah adik orang yang bernama Gonggang
Wirit. Untunglah bahwa ibumu sekarang sudah tidak ada lagi, sehingga ia tidak
melihat, bahwa pertentangan yang terjadi lebih dari duapuluh tahun yang lalu itu
masih saja berkelanjutan.”
“Apakah Gonggang Wirit datang memang untuk mempersoalkan peristiwa yang terjadi
lebih dari duapuluh tahun yang lalu itu?” tanya Wiradana.
“Agaknya tidak, Wiradana,” jawab ayahnya. “Ternyata sekarang Gonggang Wirit
telah menjadi seorang gegedhug yang membuat negeri ini menjadi keruh. Mungkin
Tanah perdikan ini dianggapnya terlalu jauh dari pusat pemerintahan di Demak,
sehingga Gonggang Wirit telah memilih daerah yang sedang tumbuh ini menjadi
sasarannya.”
“Ayah, apakah Gonggang Wirit mempunyai hubungan dengan gerombolan Kalamerta yang
membuat rusuh di Tanah perdikan Sembojan ini?” tanya Wiradana.
“Ternyata Kalamerta itu adalah Gonggang Wirit,” jawab ayahnya. “Ia memang
menggantikan namanya dan melakukan pekerjaan yang nista dengan kemampuannya yang
tinggi dalam olah kanuragan. Agaknya Tanah Perdikan ini akan banyak mengalami
kesulitan jika kita harus berhadapan langsung dengan gerombolan itu.”
“Tetapi kenapa ayah akan menemuinya sekarang? Sebab menurut tanggapanku, ayah
akan menemuinya dalam perang tanding,” sahut Wiradana dengan cemas.
“Ya. Aku memang mengharap dapat bertemu dengan Gonggang Wirit dalam perang
tanding. Aku tidak mempunyai cara lain untuk menyelamatkan Tanah Perdikan ini.
Jika aku berhasil memancingnya, maka aku kira para pengikutnya akan kehilangan
pegangan, sehingga para pengawal Tanah Perdikan ini akan dapat menghadapi
mereka,” jawab ayahnya.
“Ayah yakin akan dapat membunuhnya?” tanya Wiradana.
“Aku akan mencobanya. Tetapi jika aku tidak berhasil, dan aku justru terbunuh,
maka jangan kau sesali. Mungkin aku memang harus menebus tingkah lakuku lebih
dari duapuluh tahun yang lalu. Tetapi jika terjadi demikian, kau harus dengan
cepat memberikan laporan, tidak usah ke pusat pemerintahan di Demak. Kau dapat
menugaskan dua-tiga orang untuk melaporkan ke Kadipaten Pajang yang jauh lebih
dekat. Mudah-mudahan Pajang menaruh perhatian atas tingkah laku segerombolan
berandal di Tanah Perdikan Sembojan ini,” jawab ayahnya.
Wiradana termanggu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ayah, sebaiknya ayah tidak
pergi seorang diri. Apakah ayah yakin, bahwa orang itu akan menghadapi ayah
dengan jujur?”
“Aku sudah berhasil memancing persoalan. Aku berhasil mengungkat persoalan lama
sehingga aku berhasil membatasi persoalan itu antara aku dengan Gonggong Wirit,
kakak dari seorang yang pernah aku bunuh lebih dari dua puluh tahun yang lalu,”
jawab ayahnya pula.
“Jadi ayah memang sudah pernah bertemu dengan orang itu?” bertanya Wiradana
pula.
“Aku bertemu dengan seseorang yang pernah aku kenal justru dari sudut pasar, di
pande besi ketika aku ingin memesan sepuluh kejen bajak utuk padukuhan Gambir,”
jawab ayahnya pula. “Agaknya Gongong Wirit tidak lupa kepadaku sebagaimana aku
tidak lupa kepadanya meskipun kit sudah berpisah. Ternyata sorot matanya masih
tetap memancarkan dendam atas kematian adiknya meskipun itu sudah terjadi lama
sekali. Ketika orang itu tahu, bahwa aku adalah kepala Tanah Perdikan ini, maka
ia mengancam akan menghancurkan Tanah Perdikan itu. Satu-satunya jalan adalah
memancing kebenciannya kepadaku dan membatasi persoalannya sebagai persoalan
pribadi. Akhirnya, aku berhasil menjebaknya dalam satu perang tanding.”
“Bagaimana jika orang itu curang ayah?” bertanya Wiradana pula.
“Tidak. Ia sudah mengatakan, bahwa dalam persoalan pribadi ini, akan berdiri di
atas harga dirinya demi menuntut balas atas kematian adiknya itu,” jawab ayah
Wiradana.
Wiradana menarik nafas. Tetapi kecemasan tetap membayang diwajahnya. Sehingga
akhirnya ia berkata, “Ayah, aku akan ikut bersama ayah.”
Tetapi ayahnya menggeleng. Katanya, “Kau tinggal di rumah. Jika aku harus
terbunuh untuk menembus ketamakanku dua puluh tahun yang lalu, biarlah itu
terjadi. Tetapi aku akan dapat berbuat seusatu atas Tanah Perdikan ini. Tetapi
jika kau juga menjadi korban, maka akibatnya akan sangat parah bagi Semboyan.”
Wiradana menjadi semakin tegang. Namun ia tidak akan dapat mencagah ayahnya. Ia
tahu benar sifat ayahnya. Jika ia sudah mengambil satu keputusan, maka sulitlah
baginya untuk mengubahnya.
Namun Wiradana sadar, bahwa yang dilakukan ayahnya itu bukannya karena persoalan
pribadinya semata-mata. Tetapi cenderung untuk menyelamatkan Tanah Perdikannya,
meskipun mungkin ia harus mengorbankan dirinya.
Demikianlah, akhirnya Kepala Tanah Perdikan Sembojan, yang juga disebut Ki Gede
Sembojan itu kemudian meninggalkan rumahnya. Ketika ia turun tanggap pendapa,
sekali lagi ia berpaling kepada anaknya sambil berkata, “Hati-hatilah. Banyak
kemungkinan dapat terjadi.”
Wiradana mengangguk kecil. Dengan suara sendat ia berkata, "Aku akan berusaha
berbuat sebaik-baiknya ayah.". Ki Gede Sembojan tersenyum. Namun kemudian ia pun
melangkah melintasi halaman.
Di gardu, di depan regol Ki Gede Sembojan terhenti sejenak. Kepada para peronda
yang berada di gardu sambil kedinginan Ki Gede berkata, "Berhati-hatilah.
Meskipun jalan licin dan berlumpur, jangan segan untuk turun dan mengelilingi
daerah pengamatan kalian."
"Baik Ki Gede," jawab anak-anak muda yang berada di gardu itu. Namun dalam pada
itu, salah seorang dari mereka bertanya, "Ki Gede akan pergi kemana?"
"Aku akan melihat-lihat saja," jawab Ki Gede, "Mudah-mudahan gardu-gardu tidak
menjadi kosong, justru dalam keadaan yang terlalu sepi ini."
Demikianlah maka Ki Gede pun telah menyusup dan hilang di kegelapan.
Wiradana berdiri termangu-mangu. Ia tidak bertanya dimana perang tanding itu
akan diadakan. Karena ia tahu pasti bahwa ayahnya tidak akan menunjukkannya.
Dalam pada itu, Ki Gede Sembojan pun telah menyusuri jalan padukuhan induk Tanah
Perdikan Sembojan. Sekali-kali Ki Gede harus menyisih karena air yang tergenang.
Namun Ki Gede harus selalu berhati-hati karena jalan yang licin dan berlumpur.
Sejenak kemudian Ki Gede terhenti. Dihadapannya nampak lampu obor menyala di
gardu di ujung jalan. Agaknya, beberapa orang anak muda berada di gardu itu.
Meskipun tidak seramai hari-hari yang lain, pada saat jalan tidak menjadi basah
dan licin, namun ternyata bahwa gardu itu tidak menjadi kosong meskipun hujan
turun sejak sore.
Tetapi agaknya Ki Gede tidak mau disapa lagi oleh orang-orang Sembojan. Justru
karena itu, maka ia pun telah menyusup ke sebuah halaman. Kemudian Ki Gede telah
keluar dari Pedukuhan Induk itu dengan meloncati dinding disebelah pintu gerbang
sehingga tidak seorang perondapun yang mengetahuinya.
Setelah berada di bulak persawahan yang panjang, maka langkah Ki Gede pun
menjadi semakin cepat dan panjang. Ia ingin segera bertemu dengan orang yang
bernama Gonggang Wirit dan yang ternyata telah mengganti namanya dengan
Kalamerta, yang pada saat-saat terakhir telah mengganggu ketenangan hidup di
Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan langkah pasti Ki Gede pergi ke tempat yang jarang dikunjungi oleh
seseorang. Ketika ia sampai ke sebuah sungai yang kecil, maka ia pun segera
menelusurinya. Ia telah berjanji bertemu dengan Gonggang Wirit di ujung Kali
Pideksa. Sebuah sungai kecil yang menyusuri lereng perbukitan, namun yang
kemudian saling bergabung dengan sungai-sungai kecil yang lain sehingga akhirnya
menjadi sebuah bengawan yang besar dan panjang menyusuri ngarai membelah tanah
di daerah Timur.